Sunday, April 29, 2012

Teluk Jailolo yang tenang, di kejauhan nampak pulau Tidore

Kabupaten Halmahera Barat dengan ibukotanya  Jailolo adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari provinsi Maluku Utara pada tahun 2003. Sebagai daerah tujuan wisata, Jailolo masih kalah bersaing dengan wilayah propinsi Maluku Utara lainnya seperti Ternate dan Tidore. Saat ini pemkab Jailolo tengah gencar mempromosikan potensi keindahan bawah lautnya sebagai wisata bahari. Padahal di masa lalu, potensi  Jailolo justru berada di daratan, yaitu hasil bumi berupa rempah rempah.

Teh manis hangat beraroma kayu manis menyambut kedatangan saya di homestay milik bu Fauzia yang terletak di tepi laut teluk Jailolo. Aroma kayu manis dalam teh manis hangat serta pemandangan laut yang tenang di hadapan saya sungguh mampu menghilangkan rasa lelah akibat duduk selama hampir 3.5 jam dalam pesawat dari Jakarta menuju Ternate kemudian disambung dengan speedboat selama 45 menit dari pelabuhan Dufadufa di Ternate menuju pelabuhan Teluk Jailolo.

Di teras belakang yang juga berfungsi  sebagai ruang makan, saya memandang teluk Jailolo dan membayangkan pada masa lalu ketika kapal kapal layar melepaskan jangkar  di teluk Jailolo untuk memuat hasil bumi berupa rempah rempah. Teluk  Jailolo pada masa lalu adalah salah satu wilayah yang strategis sebagai basis pertahanan dan pintu keluar masuknya rempah rempah dari Halmahera menuju Ternate yang merupakan bandar laut internasional di era Jalur Sutera.

Meriam rusak di halaman mesjid Gam Lamo, dahulunya di lokasi ini terdapat benteng milik Belanda
Situs benteng Gamlamo peninggalan Belanda yang kini hanya terwakili oleh keberadaan sebuah meriam di halaman mesjid Gamlamo di pusat kota Jailolo adalah bukti sejarah bahwa wilayah ini dulunya diperebutkan. Kini, Jailolo merupakan urat nadi perekonomian di  Halmahera Barat. Tumpukan karung berisi rempah rempah yang telah dikeringkan kemudian dikapalkan menuju Ternate.  Seperti masa lalunya, rempah berupa buah pala dan cengkeh adalah komoditi andalan bagi para petani di Jailolo, selain kopra.

Pusat kota Jailolo tidak luas. Hanya berupa sederetan toko di jalan utamanya dan pasar ikan di sisi yang lain. Di pagi hari pasar ini ramai oleh aktifitas jual beli ikan laut segar. Jika tak mau repot memasak ikan segar,  ikan cakalang yang telah diasap juga ada, dijual lengkap dengan nasi jaha khas Jailolo. Nasi jaha di buat dengan memasukkan beras (bukan beras ketan) ke dalam ruas bambu muda yang di dalamnya telah diselubungi oleh daun pisang, kemudian di beri santan. Seperti membuat lemang, bambu ini lalu dibakar di atas api. Rasanya seperti nasi uduk.

Ikan cakalang bakar yang dijual di pasar kota Jailolo

Roti terbuat dari sagu, temannya ikan cakalang bakar.
Homestay milik bu Fauzia hanya berjarak 1 kilometer dari pusat kota. “Saya akan bakar ikan sekali mati, mas sudah lapar?”  tiba tiba ibu Fauzia bertanya.  Saya bingung apa maksudnya. Ternyata yang dimaksud ‘ikan sekali mati’ adalah ikan segar. “Kalau di Jakarta, ikan berkali kali mati. Sejak di tangkap, lalu diawetkan dalam alat pendingin, kemudian masih harus dibawa ke pasar. Ikan berkali kali mati di Jakarta”, ujar bu Fauzia menjelaskan. Saya tertawa mengiyakan.

Bagi penikmat seafood, Jailolo adalah surganya. Selama saya berada di Jailolo, ikan laut adalah menu yang tidak pernah absen di meja makan. Berbagai jenis ikan seperti ikan cakalang, ikan tuna  bahkan  ikan teri disajikan dalam berbagai  macam masakan menggunakan rempah rempah yang tumbuh di kebun. Siang ini saya makan ikan cakalang bakar dikombinasikan dengan colo colo, yaitu  irisan cabe rawit,  bawang merah dan tomat  dicampur dengan air jeruk nipis dan minyak sayur. Alamak nikmatnya. Papeda lengkap dengan kari ikan, dabu dabu, tuna asap dan tak ketinggalan kripik pisang mulut bebek khas Jailolo di sajikan di meja makan.

Pagi hari, 06.30 WIT. Tak perlu berjalan jauh untuk menemukan kebun pala atau cengkeh di sekitar kota Jailolo. Hanya berjalan selama 30 menit dari homestay dengan menyusuri jalan setapak, saya sudah memasuki kebun milik warga. Di kebun warga  ini; pohon kelapa, cengkeh  dan pala ditanam berdampingan. Buah pala berwarna kuning bergelantungan di dahan pohon. Udara sejuk berkat rimbunnya pepohonan serta kicauan burung yang sesekali terdengar membuat trekking dengan kategori ringan ini semakin menyenangkan. Hamparan kebun membentang sampai ke kaki gunung Jailolo. Saya berjalan santai selama hampir 2 jam, kurang lebih 3-4 km menuju batas hamparan kebun dengan hutan yang belum digarap masyarakat.

Selama trekking tadi saya tidak menjumpai seorangpun yang tengah bekerja di kebun. “Beda dengan orang Jawa (transmigran) yang berangkat ke kebun sejak pagi hari, orang asli sini baru ke kebun jam sembilanan”, ujar guide saya. Betul saja,  di tengah perjalanan kembali menuju homestay, saya menjumpai seorang ibu tengah duduk bersimpuh di depan tumpukan kulit buah pala.

Ibu Nafra mengupas buah pala. Kulit buah pala ini bukan sampah karena akan diambil orang untuk diolah menjadi manisan.
Semriwing tercium aroma segar buah pala ketika saya duduk di dekat bu Nafra. “Buah pala panen setiap tiga bulan”, ujarnya sambil menguliti buah pala di bawah rindangnya pohon pala yang berada  di lahan seluas 1 hektar peninggalan orang tuanya. Kebun pala milik bu Nafra merupakan warisan turun temurun. Ia bercerita bahwa kakeknya mewariskan kebun pala ini kepada orang tuanya, dan sekarang setelah orang tuanya tiada,  bu Nafra mewarisi  kebun tersebut.

Bu Nafra menjelaskan lebih lanjut bahwa yang dihargai mahal adalah fuli (bunga pala), sambil menunjukkan selaput berwarna merah yang tidak penuh menutupi biji buah pala. “Harganya 200 ribu per kilogram”. Biji pala yang telah dikeringkan dihargai 150 ribu per kilogram. Ibu Nafra menjual buah palanya ke Ternate karena harganya lebih tinggi daripada di Jailolo.

Fuli atau bunga pala merupakan bagian dari buah pala yang harganya paling mahal per kilonya
Semakin tua pohon pala semakin banyak buahnya dan ternyata pohon pala perlu diasapi untuk memancing pertumbuhan buahnya. Saya sempat terheran ketika ibu Nafra membakar sampah dedaunan tepat di bawah pohon yang menurutnya sudah berusia lebih dari 30 tahun. Merawat kebun adalah  sebuah ketrampilan turun temurun.

Lain halnya dengan Sarmin, pemuda bergelar sarjana ilmu sosial yang saya temui di kebun kelapa. Bersama 2 orang temannya, Sarmin berbagi tugas membuat kopra. Kopra adalah daging kelapa yang diasapi. Seorang bertugas membelah buah kelapa dan seorang lagi mencungkil daging kelapa dari batoknya. Di pondok pengasapan  Sarmin sibuk menjaga agar api yang membakar sabut kelapa tidak membesar. Tujuannya agar daging kelapa tidak mudah membusuk di dalam perjalanannya menuju tempat pengolahan.
Sarmin rela meninggalkan pekerjaan kantoran karena penghasilan dari kopra menjanjikan. “Saya ingin berwiraswasta,’ ujarnya. Orang tuanya sudah tidak sanggup lagi bekerja. Kebun kelapa dan pala seluas 2 hektar yang diurus Sarmin adalah milik orang tuanya.

Mengolah kopra adalah keahlian warga yang didapat secara turun temurun. Sayangnya sampai saat ini kopra dari Jailolo masih harus diolah di Surabaya karena di Jailolo tidak terdapat pabrik pengolahan minyak kelapa.
Pada masa lalu kopra merupakan komoditi penting bagi Belanda. Menurut catatan sejarah, sejak  tahun 1891 kopra mulai di ekspor ke Belanda melalui pelabuhan Makassar. Kopra diperlukan oleh negara negara di Eropa kala itu untuk memproduksi sabun dan mentega. Terdapat beberapa  wilayah Hindia Belanda yang di setting sebagai penghasil  kopra, seperti  Sumatera,  Sulawesi dan Halmahera. Tak perlu waktu yang lama bagi Belanda untuk menarik keuntungan karena pohon kelapa memang sudah ada di sana. Mereka tak harus membuka kebun.

DESA GAMTALA, pukul  08.35 WIT. Jalan sirtu membelah desa yang asri. Rumah penduduk dengan halaman yang luas berjajar rapih dihiasi dengan berbagai tanaman hias. Di kaki sebuah bukit nampak  kubah gereja  dengan 2 buah salib berwarna putih yang tersembul diantara pepohonan.  Suasana damai berhembus saat  terdengar suara lonceng gereja. Pagi ini, tak terlihat kesibukan lain para warga desa selain  berbondong  menuju gereja. Selamat hari Minggu.

Di desa Gamtala, songkok tidak identik sebagai atribut bagi warga muslim. Para pekerja gereja Getsemani Jemaat Gamtala memakai songkok sebagai simbol nasionalisme Indonesia dan juga sebagai simbol toleransi antar umat beragama.
Desa Gamtala  terletak di wilayah Sahu, berjarak kurang lebih 20 km dari Jailolo kota yang dapat dicapai menggunakan ojek dalam waktu 45 menit. Desa ini menyandang predikat sebagai desa wisata. Selain berkebun dan menanam padi, kebanyakan warga desa juga bekerja sebagai nelayan tradisional. Rute para nelayan Gamtala menyusur sungai Akediri menuju laut merupakan trip  ekowisata yang ditawarkan oleh desa Gamtala. Dalam rute ekowisata  ini kita sekaligus dapat mengunjungi Kedaton Jailolo, situs benteng Saboga dan tugu VOC.

Di tengah desa Gamtala terdapat Sasadu , sebuah bangunan tradisional yang berfungsi sebagai balai adat. Fungsi dan bentuknya  mirip dengan pendopo di pulau Jawa. Sasadu dibangun tanpa bilik sesuai dengan fungsinya sebagai tempat berkumpul warga. Tiang tiang nya terbuat dari kayu dan beratap daun lontar. Dua buah tifa yang ukurannya masing masing mencapai 3 meter digantung di dalam sasadu. Sasadu di desa Gamtala adalah salah satu sasadu tua  yang ada di Jailolo.

Sasadu merupakan bangunan yang berfungsi sebagai balai adat. 

Ibu ibu anggota paduan suara dalam sebuah pesta di Sasadu. Acara adat di Sasadu selalu disertai dengan acara makan bersama.


Kebersaman warga desa Gamtala dalam acara adat
Jika acara makan bersama telah usai, tifa dan gong ditabuh. Saatnya menyanyi dan menari dan di saat ini pulalah minuman lokal beralkohol bernama saguer serta minuman cap tikus dihidangkan.
Setiap masa panen tiba, warga mengadakan pesta adat di Sasadu. Pesta bisa berlangsung berhari hari tanpa jeda sesuai dengan hasil panen, namun jumlah hari berpestanya harus ganjil.  Semakin bagus hasil panen semakin lama mereka berpesta. Dalam pesta ini warga bebas menyantap makanan yang tersaji nonstop di sasadu. Tak boleh ketinggalan saguer, minuman lokal beralkohol hasil dari penyulingan air nira. Mereka menari nari di dalam sasadu. Tifa tidak boleh berhenti di tabuh selama pesta berlangsung. Para pria bergantian menabuh tifa.

Saya sampai di  sebuah rumah berbilik bambu, beratap daun lontar dan berlantai tanah. Meskipun sederhana, rumah ini asri.  Di terasnya tergantung beberapa anyaman keranjang terbuat dari rotan. Di dipan bambu nampak  seorang bapak tua berambut putih tengah sibuk menganyam saloi, keranjang  yang biasanya digunakan sebagai wadah untuk membawa buah pala yang dipetik dari kebun. Nama bapak tersebut Saul Oya, berusia 91 tahun. Saul Oya mengenyam pendidikan di jaman kolonialisasi Belanda. Pendidikan terakhirnya adalah sekolah agama Theologia di Tobelo.

Pengrajin anyaman dari rotan bernama bapak Saul Oya berusia 91 tahun. Beliau adalah salah satu pelaku sejarah di jaman kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan RI.
Sejak dua tahun yang lalu beliau menekuni pekerjaan menganyam rotan karena sudah tidak sanggup lagi berkebun akibat kakinya yang tidak lagi kuat berjalan jauh. Ternyata Saul Oya adalah satu satunya pengrajin anyaman di desa Gamtala. Keahliannya menganyam dipelajarinya ketika ia duduk di bangku sekolah. ”Saya belajar menganyam ketika sekolah di Vervolgschool” , ujarnya. Vervolgshool adalah sekolah pada era kolonialisasi Belanda, setingkat SLTP.

Saloi  mulai dilupakan sebagai keranjang untuk menampung buah pala yang dipetik di kebun. Hasil anyaman Saul Oya hanya dijual sebagai souvenir. Petani kini lebih suka menggunakan karung dari plastik untuk mengumpulkan buah pala. Ironis jika menyaksikan kemajuan hanya akan menghilangkan budaya yang eksotis. Usaha Saul Oya untuk melestarikan saloi patut diacungi jempol.  Kini ia telah mengajari ketrampilan menganyam kepada beberapa ibu di desa Gamtala untuk mendukung predikat Gamtala sebagai desa wisata.

Menyenangkan mendengar cerita Saul Oya tentang masa lalunya. Pulau Halmahera memang sarat dengan cerita sejarah. Ingatan Saul Oya sangat kuat  berkat latar belakang  pendidikannya di jaman Belanda yang terkenal disiplin. Dari keterangan beliau, saya mendapat informasi bahwa pernah diadakan tes DNA pada tahun 1933 oleh Belanda di wilayah Sahu untuk mengetahui asal usul  keturunan warga. Contoh darah diambil dari daun telinga. Kala itu didapatkan fakta bahwa di desa bernama Idem Dehe Gamsungi, warganya merupakan keturunan Portugis. Letak desa ini tak jauh dari Gamtala. Sayangnya, saya tak mendapatkan bukti yang kuat untuk mendukung informasi ini .

Para ilmuwan terus mengembangkan ilmu genetik sejak ditemukannya type golongan darah manusia pada tahun 1920’an, Pada tahun 1930’an, ilmuwan menemukan protein dalam darah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi manusia. Melalui tes serologi, para ilmuwan menggunakan sistem kelompok darah dari kedua orang tua untuk memprediksi golongan darah anak mereka. Para ilmuwan juga menerapkan pengujian serologis untuk kasus ayah, mencoba untuk mengidentifikasi ayah berdasarkan golongan darah anak dan ibu. (www.dnacenter.com). Mungkin saja wilayah Jailolo di tahun 1933 adalah ajang uji coba para ilmuwan tersebut.

Ekowisata dan Wisata Sejarah

Hutan bakau di desa Gamtala merupakan obyek ekowisata yang potensial untuk lebih dikembangkan.
Saya menyusuri sungai dengan sampan kecil bercadik. Semerbak aroma hutan yang segar tercium ketika sampan memasuki hutan bakau . Anak sungai  Akediri yang lebarnya hanya 3-5 meter ini teduh dilindungi lebatnya pohon bakau. Akarnya menjulur sampai ke dasar sungai. Hanya suara gemericik air akibat kayuhan dayung dan sesekali kicauan burung yang terdengar. “Jika pagi hari lebih ramai burung burung berkicau di hutan bakau ini”, ujar pak Fahrenheit sembari mendayung perlahan. 

Pulau Halmahera memang merupakan habitat yang ideal bagi berbagai spesies burung. Burung endemik di Halmahera adalah burung bidadari (Semioptera wallacii), spesies sejenis burung cendrawasih yang kini terancam punah karena habitatnya terganggu dan diburu karena keunikannya. Halmahera adalah salah satu destinasi favorit bagi kalangan pecinta birdwatching. Di wilayah hutan tropis di pedalaman Sidangoli, burung bidadari masih dapat dijumpai menari di alam bebas.

Setelah bersampan kira kira selama 45 menit, anak sungai menjadi melebar mendekati sungai Akediri. Vegetasi pun berubah. Deretan pohon bakau yang lebat digantikan oleh hamparan pohon kelapa. Sinar matahari langsung menerpa menggantikan keteduhan karena sungai yang drastis melebar. Kami menepi di pinggir sungai dimana terdapat beberapa sampan yang berlabuh. Kami sampai di Kedaton Jailolo yang merupakan rumah kediaman Sultan Jailolo. Terletak di pantai Marimbati yang kotor akibat sampah organik, kedaton Jailolo tidak terlalu istimewa kecuali sejarahnya.

Singkat cerita. Kesultanan Jailolo baru saja mendapatkan kembali  kesultanannya  atas inisiatif Sri Sultan Ternate. Wilayah Kesultanan Jailolo sejak jaman kolonial Belanda telah lebur ke dalam wilayah Kesultanan Ternate. Sultan Jailolo modern saat ini merupakan keturunan keluarga Kesultanan Jailolo yang pada tahun 1918 diasingkan ke Cianjur Jawa Barat oleh penguasa kolonial  Belanda. Saya tidak  mendapatkan info sama sekali tentang keberadaan situs peninggalan Kesultanan Jailolo di masa lalu.

Muara sungai Akelamo dan gunung Gamkonora
Bangunan kedaton di pantai tersebut merupakan bangunan baru. Jika saja rekonstruksi Kesultanan Jailolo berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin Kedaton Jailolo akan menjadi salah satu daya tarik bagi wisata di Jailolo. Perlu kerja keras, penelitian sejarah yang mendalam dan tentu saja dana yang tidak sedikit untuk wujud kedaton yang menarik untuk dikunjungi wisatawan.

Kembali ke sungai. Menjelang sampai di muara, sungai Akediri bersatu dengan sungai Akelamo. Air sungai menjadi sedikit bergelombang karena angin bebas berhembus di tempat terbuka. Gunung Gamkonora terlihat jelas menjulang di arah barat. Pandangan ke arah laut sedikit terhalang karena ada daratan pasir luas di ujung muara layaknya tanggul yang menahan air laut. Kami menepi di daratan berpasir tersebut dan berjalan menyusur pantai  ke arah barat. Mengarah ke desa Roku Tengah Balu yang nampak di kejauhan berupa deretan rumah dan sampan di pantainya.

Di desa Roku Tengah Balu terdapat tugu peninggalan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur. Dari tempat kami menepi, jaraknya sekitar 2 km menyusur pantai lalu mengikuti jalan yang membelah desa. Tugu ini berdiri di halaman rumah warga tak jauh dari pantai. Tingginya sekitar 4 meter dan berkerucut di puncaknya. Lantainya sudah direnovasi dengan keramik glossy modern. Sungguh kontras dengan kondisi relief logo VOC yang berlumut. Tidak terdapat informasi apapun di tugu ini selain relief logo VOC tersebut, termasuk tahun pembuatan.

Tugu VOC di desa Roku Tengah Balu
Belanda adalah bangsa Eropa yang telat sampai di kepulauan Maluku. Walaupun demikian merekalah yang akhirnya menguasai  kepulauan Maluku. VOC dibentuk tahun 1602. Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang sampai di kepulauan Maluku.  Portugis memonopoli  perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku hampir 1 abad setelah mengalahkan perlawanan rakyat Maluku pada tahun 1511. Spanyol yang terusir dari Massava (Filipina) sampai juga di Maluku pada tahun 1520’an.

Portugis merasa terusik dengan kedatangan Spanyol. Pada tahun 1529 ditandatangani Perjanjian Saragosa antara Portugis dan Spanyol. Isinya pembagian wilayah di Maluku dan Spanyol harus mundur kembali ke Massava.). Faktanya di Halmahera Barat terdapat beberapa situs benteng milik Belanda dan hanya satu benteng milik Spanyol. Tidak ada satupun situs benteng milik Portugis. Benteng Saboga yang berada di tepi sungai Akelamo di bangun oleh Spanyol pada tahun 1548. Apakah wilayah Jailolo merupakan ‘jatah’ Spanyol?

Dari muara  menuju situs benteng Saboga hanya setengah jam menyusuri sungai Akelamo. Benteng ini nyaris hilang tertutup tumbuhan. Pohon kayu besar terlihat tumbuh di sisi benteng yang menghadap ke sungai. Pondasinya sudah ambrol. Bagian yang ambrol tersebut nampak menyembul  dari dalam sungai. Bangunan yang tersisa adalah semacam pos pengawas. Temboknya masih terlihat kokoh di beberapa sisi. Bangunan  ini strategis untuk mengawasi sungai karena posisinya berada 10 meter di atas sungai. Di tengahnya terdapat sebuah lubang berdiameter  5 meter dengan kedalaman 8 – 10 meter.

Salah satu dinding benteng Saboga yang masih utuh. Menurut catatan benteng ini dibangun tahun 1548.
Pecahan keramik Cina di sebuah makam tua yang terletak di sekitar situs benteng Saboga. Menurut cerita warga lokal tadinya banyak barang keramik di lokasi ini namun sering diambil sebagai cindera mata oleh para pengunjung situs.
Jika mengamati posisi benteng ini di tepi sungai, saya berasumsi bahwa benteng ini dulunya adalah sebuah pos penjagaan. Fungsinya mengawasi sungai Akelamo yang merupakan jalur keluarnya rempah rempah dari pedalaman. Tentunya saat itu lebih mudah membawa rempah lewat sungai daripada lewat jalan darat yang belum tentu sudah ada.  Benteng ini letaknya tak terlalu jauh dari laut di mana kapal layar menunggu muatannya sampai penuh dan kembali berlayar. Tapi entahlah, saya hanya menebak nebak karena minimnya informasi.

Benteng Saboga layak dijadikan sebagai situs sejarah yang dilindungi dan dipelihara oleh negara. Saat ini status kepemilikan lahan dimana benteng Saboga berada masih belum jelas. Pemugaran situs bersejarah ini layak dilakukan. Situs benteng Saboga kondisinya terlihat masih bisa diselamatkan. Perlu melibatkan ahli sejarah dan arkeologi dalam pemugaran situs bersejarah agar hasilnya tidak asal jadi dan malah menghilangkan keasliannya.

BATU TULIS.  Saya berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah kebun di desa Porniti berbekal tutur cerita masa muda Saul Oya. Ceritanya  tentang  keberadaan sebuah ‘batu tulis’ yang pernah ditemukannya ketika ia remaja.  Saya semakin penasaran ketika guide lokal mengatakan bahwa ada 2 buah batu tulis di wilayah desanya. “Kedua batu itu ada di sungai Tamo, hanya saja letaknya berjauhan, yang satu berada lebih ke hulu,” ujarnya.

Jalanan naik turun bukit cukup membuat nafas tersengal, apalagi harus mengikuti langkah orang lokal yang iramanya lebih cepat. Empat puluh lima menit kemudian kami menyeberang sungai untuk yang ketiga kalinya. Lebar sungai yang penuh batu besar dan kecil  ini kurang lebih 5 meter. Di tepi sungai, di bawah sebuah pohon yang tidak terlampau besar, guide saya mengkorek korek tanah dengan parangnya. “Ini batunya”, dia mengucap. Sebagian batu masih terlihat karena terlewati oleh air sungai. Bagian lainnya tertutup oleh tanah dan akar pohon.

Kami berusaha keras membersihkan batu tersebut dari tanah dan tanaman yang tumbuh menutupinya. Batu tersebut diameternya hampir 1 meter. Permukaannya datar seperti meja. Namun relief di batu tersebut tidak seperti yang saya harapkan. Relief di batu tersebut sudah hampir habis terkikis. Jika tidak diperhatikan dengan seksama, yang terlihat hanya sebuah batu yang tidak mulus permukaannya. Namun jika dilihat dengan teliti nampak garis lurus dan lengkung di permukaan batu. Ada sebuah lubang seukuran telapak kaki yang permukaannya sudah tidak rata.

Merasa tidak puas dengan penemuan batu pertama ini, saya segera melanjutkan perjalanan menuju batu kedua yang berada lebih di hulu. Jalanan berubah menjadi terjal mendaki bukit lalu curam turun mengarah ke sungai. Setelah setengah jam berjalan, kami bertemu lagi dengan sungai Tamo. Kami masih harus berjalan mengikuti alur sungai ke hilir sebelum akhirnya menjumpai batu tersebut. Posisinya di tengah aliran sungai, jika hujan turun batu tersebut pasti tertutup air. Sungai Tamo di sini berbatasan langsung dengan hutan alam Pokarila di kaki gunung Kora.

Batu bertulis di desa Porniti. Sejak tahun 1790?
SARSAM JLW JOHAMI PRIGIA 1790. Itulah huruf huruf yang tertera jelas di atas batu berdiameter 1.5 meter tersebut. Selain angka 1790 yang kemungkinan besar adalah informasi mengenai tahun, hanya satu kata, yaitu  PRIGIA yang dapat saya temukan lewat paman Google. Prigia adalah nama suatu kota di jaman Romawi kuno di daratan Eropa, sekitar 25 SM. Batu tersebut memang tak berarti apa apa bagi sejarah Halmahera Barat. Saya juga bukan ahli sejarah yang perlu menerjemahkan makna di balik keberadaan batu tulis tersebut. Batu tulis di desa Porniti mungkin hanya suatu bentuk vandalisme di akhir abad 18 yang dilakukan oleh seorang petualang. Namun saya puas menemukannya dan bisa membuktikan kebenaran cerita Saul Oya.

AKHIR KATA. Melakukan perjalanan di Jailolo seperti memasuki lorong waktu. Kebun rempah, situs tua dan pelaku sejarah seperti Saul Oya memberikan gambaran pada saya tentang masa lalu wilayah ini. Sejarah Halmahera dan cerita singkat bu Nafra maupun Sarmin membuktikan bahwa hasil bumi dari Halmahera Barat telah berabad abad menjadi komoditi andalan wilayah. Potensi yang sudah ada ini layak dikembangkan sebagai wisata minat khusus seperti agrowisata dan wisata sejarah. Mengembangkan wisata di Jailolo tanpa melibatkan unsur sejarah dan budaya agrikultur serta tradisi masyarakatnya adalah bagaikan kacang lupa kulitnya.

Banyak yang perlu dibenahi jika Pemkab Jailolo hendak menawarkan wilayahnya sebagai tujuan wisata. Wisata keindahan bawah laut Jailolo memang jelas sangat potensial untuk dijual. Para divers dari belahan dunia manapun akan datang jika keindahan laut Jailolo terjaga.  Sekarang yang perlu lebih dikembangkan oleh pemkab adalah wisata di daratan Halmahera Barat. Sebab potensinya juga tak kalah menarik untuk dijual. Mengembangkan agrowisata, ekowisata dan wisata sejarah di Jailolo akan mengundang para petualang dan mengembalikan peran penting Jailolo di Halmahera seperti masa lalunya.


Tarian Cakalele lengkap dengan musik pengiring

Permainan bambu gila yang magis adalah permainan warga pesisir di desa Disa, Jailolo